SEJARAH
INDONESIA ZAMAN PENGARUH BARAT
Tentang
KEUNTUNGAN
TANAM PAKSA DAN AWAL KEARAH PEMBARUAN
Oleh
Kelompok
1
1. Yessy
Novita Dewi (14046013)
2. Puti
Lindo Jati (14046079)
3. Dewi
Oriza Sativa (14046063)
PENDIDIKAN
SEJARAH
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI PADANG
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
balakang
penulisan makalah bertujuan untuk menjelaskan
pembahasan terkait sejarah Indonesia zaman pengaruh barat tentang keuntungan
sistem tanam paksa dan arah pembaharuan yang mana dalam makalah ini dijelaskan bentuk-bentuk
keuuntungan yang diperoleh baik oleh belanda maupun masyarkat setempat dengan
diberlakukannya sistem tanam paksa hingga penghapusan sistem tanam paksa yang
menjadi celah bagi penduduk Indonesia untuk hidup lebih bebas yang dilakukan
oleh kelompok liberal yang menjunjung tinggi kebebasan.
B. Rumusan
masalah
1. Bagaimana
keuntungan yang diperoleh oleh Belanda dan penduduk Indonesia dengan
diberlakukannya sistem tanam paksa?
2. Bagaimana
pengaruh adanya sistem tanam paksa bagi penduduk Indonesia?
3. Bagaimana
lahirnya undang-undang tentang daerah jajahan serta bentuk penentangan terhadap
sistem tanam paksa?
4. Bagaimana
penghapusan sistem tanam paksa dan bentuk pembaharuan yang dilakukan?
C. Tujuan
penulisan
1. Mengetahui
keuntungan yang diperoleh oleh Belanda dan penduduk serta pengusaha dengan
adanya sistem tanam paksa
2. Mengetahui
bentuk pengaruh diberlakukuannya sistem tanam paksa
3. Mengetahui
latar belakng lahirnya undang-undang daerah jajahan serta bentuk penentangan
terhdap sistem tanam paksa
4. Mengetahui
langkah penghapusan sistem tanam paksa dan bentuk pembaharuan yang dilakukan
BAB
II
KEUNTUNGAN
TANAM PAKSA DAN AWAL KEARAH PEMBARUAN
A. Keuntungan
pihak Belanda
Sistem
tanam paksa diberlakukan oleh Belanda pada masa penjajahannya di Nusantara dilatarbelakangi
oleh keadaan ekonomi Belanda yang terus memburuk akibat perang yang terjadi
pada masa itu. Dengan diberlakukan sistem taman paksa, keadaan ekonomi belanda
berangsur membaik. Antara tahun 1832-1867 Belanda telah memperoleh keuntungan
sebanyak 197 juta Gulden hingga 10 tahun kemudian Belanda telah memperoleh
keuntungan sebanyak 287 juta gulden. Uang yang diperoleh dari keuntungan sistem
tanam paksa dimanfaatkan oleh belanda untuk melunasi hutang,mengurangi pajak
rakyat belanda, membenagun bendungan, kanal, kereta api, dan Amsterdam kembali
menjadi pusat perdagangan daerah tropis[1]
Keuntungan
yang didapatkan akibat keberhasilan tanam paksa pada tahun 1840-1874 itu 4/5
persennya berasal dari kopi sedangkan gulamenghasilkan $115 juta dan sisanya dari
tanaman-tanaman lain. Dari tahun 1831 hingga 1877 pembendaharaan kerajaan
Belanda telah menerima 832 juga gulden dari hasil tanam paksa. Sebelum tahun
1850, kiriman uang dari sistem tanam paksa telah berjumlah sekitar 19 % dari
pendapatan Negara Belanda. pihak Belanda telah berhasil memeras perekonomian
Jaya sedangkan keuntungan-keuntungan yang berarti hanya dikembalikan kepada
sekelompok kecil masyarakat pribumi[2]
B. Keuntungan
bagi penduduk dan pengusaha
Sistem
tanam paksa tidk hanya menguntungkan bagi Belanda saja, tetapi juga memberti
sedikit keuntungan kepada sebagia besar penduduk. Van Niel telah menunjukan
bahwa pada tahun 1837-1851 banyak terjadi perpindahan penduduk dari desa ke
kota untuk menghindari beban kerja serta meninggalkan daerah pedalaman menuju
daerah pantai. Hal tersebut memberi keuntungan bagi penduduk yang tidak pindah
sehingga tanah yang dimiliki manjadi lebih luas dan hewan ternak yang
ditinggalkan juga banyak dengan demikian persediaan dan harga bahan pangan
semakin membaik namun pembagian keuntungan tersebut tidak merata. Pihak
diuntungkan dengan adanya sistem tanam paksa adalah pemilik tanah tetapi yang
paling beruntung adalah para pengusaha cina serta para administrator dan para
pejabat pribumi yang sebagian besar tidak hanya menerima persentase namun juga
memiliki tanah jabatan[3].
Keuntungan-keuntungan
besar yang diperoleh yang diproleh oleh pengusaha-pengusaha pabrik eropa yang
mengadakan kontrak dengan pemerintah dalam rangka sistem tanam paksa menarik
menarik pihak swasta untuk mengusahakan budi daya tebu (suikerculture) sehingga
pada tahun 1837 mereka menghasilkan sekitar setengah dari produksi gula
pemerintah. Pada tahun 1838 pemerintah menyewakan mengizinkan
pengusaha-pengusaha swasta mengadakan perjanjian dengan kepala-kepala desa
sehingga penduduk desa terikat untuk mengerjakan tanah-tanah atau menyerahkan
hasil-hasil tanaman[4].
C. Pengaruh
sistem tanam paksa bagi masyarakat
Pekerjaan-pekerjaan
wajib yang ditetapkan pada sistem tanam paksa perupakan baban berat bagi
penduduk desa. Terkadang seluruh penduduk desa dikerahkan bekerja untuk
kepentingan pemerintah kolonial maupun untuk kepentingan pejabat-pejabat
tertentu. hal utama yang dilakukan adalah sistem kerja wajib seperti menanam,
memotong, mengangkut tebu kepabrik-pabrik gula dan bekerja dipabrik itu sendiri.
Dengan adanya kerja rodi yang sangat berat dan perawata kesehatan
pekerja-pekerja sangat kurang maka banyak penduduk yang meninggal baik karena
penyakit, kelaparan dan sebagainya[5].
Akibat
adanya sistem tanam paksa yaitu kelaparan yyang terjadi di Cerebon pada tahun
1843-1844 yang mengakibatkan penurunan jumlah penduduk dan merosotnya produksi
beras dan jumlah jumlah ekspor terus menurun sedangkan impor meningkat[6]
Sistem
tanam paksa merupakan suatu sistem eksploitasi yang sama seperti yang pernah
diterapkan oleh VOC. Dalam sistem tanam paksa pemerintah kolonial menjalin
hubungan dengan kepala desa untuk melakukan penanaman paksa terhadap penduduk
sehingga memberikan pengaruh yang lebih mandalam bagi penduduk daripada zaman
VOC. Sistem tanam paksa menimbulkan berbagai perubahan dalam kehidupan
masyarakat Jawa dengan beberapa akibat yang tak diinginkan khususnya
disentegrasi struktur sosial masyarakat jawa, hal tersebut disebabkan oleh
semakin meresapnya ekonomi dan lalu lintas uang yang sebelumnya tidak dikenal
oleh masyarakat jawa. Disisi lain, sistem tanam paksa pada umumnya tidak
menguntungkan penduduk Indonesia namun sebaliknya yang sering menimbulkan
penderitaan dan kesengsaraan yang besar[7].
D. Lahirnya
undang-undang daerah jajahan
Kemajuan
ekonomi Belanda akibat adanya tanam paksa serta kecendrungan semakin kuatnya
pengaruh paham liberal yang menganut politik ekonomi yang bertentang dengan
kaum konservatif nmenyebabkan masa 1850-1870 dikategorikan sebagai masa
perebutan pengaruh antara dua golongan mempengaruhi politik ekonomi belanda
baik di negar Belanda sendiri maupun daerah jajahan. Periode tersebut akhirnya
dimenangkan oleh kaum liberal untuk daerah jajahan masa transisi atau masa
permulaan keperiode liberal[8].
Dalam
undang-undang 1848, dinyatakan bahwa pemerintah jajahan harus diatur
berdasarkan undang-undang dan raja harus memberikan laporan tahunan terkait
daerah kolonial. Undang-undang tersebut melahirkan undang-undang untuk daerah
jajahan pada tahun 1854 (RR 1854) yang diberlakukan pada tahun 1856. Dalam RR
1854 terdapat beberapa perubahan yaitu: menghidupkan kembali fungsi dewan
Hindia, kebebasan pers lebih luas, penghapusan perbudakan, pendidikan untuk
penduduk pribumi, sewa tanah tidak ditujukan bagi pengusaha eropa dan aturan
yang wajar mengenai kerja rodi dan pajak tanah. Selain itu, dalam pelaksanaan
tanam paksa harus memperhatikan antara lain: tanaman produksi tidak mengganggu
tanaman penduduk, pemakaian tanah dan tenaga kerja diatur secara adil dengan
menghormati hak yang ada serta adat kebiasaan yang berlaku, pembayaran yang
wajar dan juga ada aturan tentang penghapusan tanam paksa jika sangat menekan
penduduk[9].
E. Penentangan
sistem tanam paksa
Penerapan
sistem tanam paksa sangat ditentang oleh para bupati dengan mengadakan berbagai
aksi. Di Tegal, Pekalongan dan Cirebon adanya aksi pencurian besar-besaran
sehingga banyak penduduk yang tidak berani keluar rumah. Sifat kepemimpinan
bupati sebagai otoritas tertinggi didaerahnya adalah polimorfik (bersegi
banyak) sehingga penyelenggaraan sistem tanam paksa agak dipersempit yaitu
secara khusus mengawasi dan menjamin produksi. Namun akhirnya kedudukan bupati
berubah menjadi mandor tanaman paksa. Tekanan pada instansi terakhir ditampung
oleh rakyat pedesaan yang semakin merasa dieksploitasi oleh belanda dan bupati
maupun pejabat-pejabat lainnyasehingga menimbulkan kebencian penduduk dan
banyaknya gerakan protes melawan belanda beserta bawahannya[10].
Beberapa
tokoh belanda yang menentang ekses-ekses sistem tanam paksa dan menganjurkan
pembukaan Indonesia untuk usaha swasta seperti Baron van Hoevell dan Vitalis,
berkeyakinan bahwa perkembangan usaha belanda akan meningkatkan kemakmuran
rakyat Indonesia. Disisi lain, oposisi di Negara Belanda terhadap sistem taman
paksa mendapat angin karena adanya dua penerbitan yang secara jelas
mengungkapkan penderitaan penduduk Jawa akibat penyelewenga-penyelewengan
kekuasaan dibawah sistem tanam paksa. Kedua tulisan tersebut adalah max
havelaar yang ditulis oleh Douwes Dekker (mantan pegawai pemerintah kolonial )
dengan nama samaran Multatuli sedangkan tulisan lainnya yaitu pamphlet dengan
judul suiker contracten (kontrak- kontrak gula) yang ditulis oleh Fransen van
der Putte (pemilik perkebunan besar)[11].
F. Penghapusan
sistem tanam paksa dan usaha pembaharuan
Pada
tahun 1840 sistem tanam paksa telah menghadapi berbagai masalah. Tanda-tanda
tentang penderitaan dikalangan penduduk Jawa dan Sunda mulai tampak khususnya
didaerah-daerah penanam tebu. Hal yang paling utama dalah hasil dari perdebatan
politik di Belanda yaitu dihapuskanya sistem tanam paksa sedikit demi sedikit.
Ketika pemerintah kolonial menghapuskan penanaman paksa komoditi pertanian
Negara diseluruh wilayahnya di Indonesia. selain itu, adanya undang-undang
agraria tahun 1870 juga membuka jalan bagi peusahaan swasta[12].
Dalam
hal ini, kemenangan utama bagi golongan liberal adalah undang-undang Audit
tahun 1864 dan berlaku mulai tahun 1867dimana dinyatakan budget daerah jajahan
harus disetujui parlemen. Dengan demikian administrasi daerah jajahan berada
dibawah control parlemen. Puncak memenangan golongan liberal adalah dengan
dikeluarkanya undang-undang pada tahun 1870 undang-undang agrarian dan
undang-undang gula. Yang pertama mengenai penghapusan tanam paksa gula secara
bertahap sehingga satu-satunya jenis tanaman yang masih dipaksakan adalah kopi
yang berlansung sampai 1 januari 1917[13].
Untuk
memberikan kepastian hokum dan kebebasan pada masyarakat Jawa, perlu diadakan
penghapusan kefeodalan dan modernisasi kehidupan masyarakat dalam segala
aspeknya. Penghapusan kefeodalan juga memerlukan campur tangan pemerintah eropa
yang intensif dan memakan biaya yang besar[14].
BAB
III
PENUTUP
Sistem
tanam paksa merupakan suatu metode yang digunakan oleh belanda untuk menghadapi
masalah perekonomiannya. Sistem tanam paksa diberlakukan sangat menguntungkan
pihak Belanda namun memberikan kerugian yang besar bagi penduduk Indonesia
khususnyya dipulau Jawa yang mana adanya penyelewengan kekuasaan yang dilakukan
oleh utusan Belanda di Indonesia sehingga sangat menyengsarakan rakyat
Indonesia. sistem tanam paksa banyak mendapat penentangan baik bari dari pihak
penduduk Indonesia maupun orang Belanda yang merasa Kasihan terhadap
penderitaan rakyat Indonesia akibat sistem tanam paksa yang berakhir dengan
berkembanganya faham liberalism yang berakibat pada pemnghapusan sistem tanam
paksa dan menginginkan kebebasan bagi rakyat Indonesia.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Prajudi Atmosudirdjo. 1957. Sejarah Ekonomi Indonesia( Dari Segi Sosionlogi Sam Pai Akhir Abad XIX). Jakarta:PT Pradnya Paramita
Zur ‘Asri. 2005. Sejarah
Indonesia Zaman Pengaruh Barat (Hand Out). Jurusan Sejarah, FIS UNP, Padang
Sartono Kartodirjo. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru (1500-1900) Jilid I. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Umum
Ricklefs, M. C. 2004. Sejarah
Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Marwati Djoened Poesponegoro. 2008. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka
[1]
Zur ‘Asri. 2005. Sejarah Indonesia zaman pengaruh barat (hand out). Jurusan
sejarah, FIS UNP, padang. Hlm: 16-18
[2]
Ricklefs, M. C. 2004. Sejarah Indonesia modern. Yogyakarta: gadjah mada
university press. Hlm: 187-188
[3] Ricklefs, M. C. 2004. Sejarah Indonesia
modern. Yogyakarta: gadjah mada university press. Hlm: 187
[4]
Prajudi atmosudirdjo. 1957. Sejarah ekonomi Indonesia( dari segi sosionlogi sam
pai akhir abad XIX). Jakarta:PT pradnya paramita. Hlm: 215
[5] Marwati
djoened poesponegoro. 2008. Sejarah nasional Indonesia IV. Jakarta: balai
pustaka. hlm: 362-363
[6]
Sartono kartodirjo. 1987. Pengantar sejarah Indonesia baru (1500-1900) jilid I.
Jakarta: PT gramedia pustaka umum. Hlm: 312
[7]
Marwati djoened poesponegoro. 2008. Sejarah nasional Indonesia IV. Jakarta:
balai pustaka. Hlm: 370-371
[8]
Zur ‘Asri. 2005. Sejarah Indonesia zaman pengaruh barat (hand out).
Jurusan sejarah, FIS UNP, padang. Hlm: 47
[9]
Zur ‘Asri. 2005. Sejarah Indonesia zaman pengaruh barat (hand out).
Jurusan sejarah, FIS UNP, padang. Hlm: 48
[10]
Sartono kartodirjo. 1987. Pengantar sejarah Indonesia baru (1500-1900) jilid I.
Jakarta: PT gramedia pustaka umum. Hlm:308-309
[11]
Marwati djoened poesponegoro. 2008. Sejarah nasional Indonesia IV. Jakarta:
balai pustaka. Hlm367-368
[12]
Ricklefs, M. C. 2004. Sejarah Indonesia modern. Yogyakarta: gadjah mada
university press. Hlm: 190
[13]
Zur ‘Asri. 2005. Sejarah Indonesia zaman pengaruh barat (hand out).
Jurusan sejarah, FIS UNP, padang. Hlm: 49
[14]
Prajudi atmosudirdjo. 1957. Sejarah ekonomi Indonesia( dari segi sosionlogi sam
pai akhir abad XIX). Jakarta:PT pradnya paramita. Hlm: 225-226
Tidak ada komentar:
Posting Komentar