Minggu, 24 April 2016

keuntungan sistem tanam paksa dan awal kearah pembaharuan



SEJARAH INDONESIA ZAMAN PENGARUH BARAT
Tentang
KEUNTUNGAN TANAM PAKSA DAN AWAL KEARAH PEMBARUAN
Oleh
Kelompok 1
1.     Yessy Novita Dewi    (14046013)
2.     Puti Lindo Jati          (14046079)
3.     Dewi Oriza Sativa     (14046063)

PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar balakang
penulisan makalah bertujuan untuk menjelaskan pembahasan terkait sejarah Indonesia zaman pengaruh barat tentang keuntungan sistem tanam paksa dan arah pembaharuan yang mana dalam makalah ini dijelaskan bentuk-bentuk keuuntungan yang diperoleh baik oleh belanda maupun masyarkat setempat dengan diberlakukannya sistem tanam paksa hingga penghapusan sistem tanam paksa yang menjadi celah bagi penduduk Indonesia untuk hidup lebih bebas yang dilakukan oleh kelompok liberal yang menjunjung tinggi kebebasan.

B.   Rumusan masalah
1.      Bagaimana keuntungan yang diperoleh oleh Belanda dan penduduk Indonesia dengan diberlakukannya sistem tanam paksa?
2.      Bagaimana pengaruh adanya sistem tanam paksa bagi penduduk Indonesia?
3.      Bagaimana lahirnya undang-undang tentang daerah jajahan serta bentuk penentangan terhadap sistem tanam paksa?
4.      Bagaimana penghapusan sistem tanam paksa dan bentuk pembaharuan yang dilakukan?

C.   Tujuan penulisan
1.      Mengetahui keuntungan yang diperoleh oleh Belanda dan penduduk serta pengusaha dengan adanya sistem tanam paksa
2.      Mengetahui bentuk pengaruh diberlakukuannya sistem tanam paksa
3.      Mengetahui latar belakng lahirnya undang-undang daerah jajahan serta bentuk penentangan terhdap sistem tanam paksa
4.      Mengetahui langkah penghapusan sistem tanam paksa dan bentuk pembaharuan yang dilakukan

BAB II
KEUNTUNGAN TANAM PAKSA DAN AWAL KEARAH PEMBARUAN
A.    Keuntungan pihak Belanda
Sistem tanam paksa diberlakukan oleh Belanda pada masa penjajahannya di Nusantara dilatarbelakangi oleh keadaan ekonomi Belanda yang terus memburuk akibat perang yang terjadi pada masa itu. Dengan diberlakukan sistem taman paksa, keadaan ekonomi belanda berangsur membaik. Antara tahun 1832-1867 Belanda telah memperoleh keuntungan sebanyak 197 juta Gulden hingga 10 tahun kemudian Belanda telah memperoleh keuntungan sebanyak 287 juta gulden. Uang yang diperoleh dari keuntungan sistem tanam paksa dimanfaatkan oleh belanda untuk melunasi hutang,mengurangi pajak rakyat belanda, membenagun bendungan, kanal, kereta api, dan Amsterdam kembali menjadi pusat perdagangan daerah tropis[1]
Keuntungan yang didapatkan akibat keberhasilan tanam paksa pada tahun 1840-1874 itu 4/5 persennya berasal dari kopi sedangkan gulamenghasilkan $115 juta dan sisanya dari tanaman-tanaman lain. Dari tahun 1831 hingga 1877 pembendaharaan kerajaan Belanda telah menerima 832 juga gulden dari hasil tanam paksa. Sebelum tahun 1850, kiriman uang dari sistem tanam paksa telah berjumlah sekitar 19 % dari pendapatan Negara Belanda. pihak Belanda telah berhasil memeras perekonomian Jaya sedangkan keuntungan-keuntungan yang berarti hanya dikembalikan kepada sekelompok kecil masyarakat pribumi[2]

B.     Keuntungan bagi penduduk dan pengusaha
Sistem tanam paksa tidk hanya menguntungkan bagi Belanda saja, tetapi juga memberti sedikit keuntungan kepada sebagia besar penduduk. Van Niel telah menunjukan bahwa pada tahun 1837-1851 banyak terjadi perpindahan penduduk dari desa ke kota untuk menghindari beban kerja serta meninggalkan daerah pedalaman menuju daerah pantai. Hal tersebut memberi keuntungan bagi penduduk yang tidak pindah sehingga tanah yang dimiliki manjadi lebih luas dan hewan ternak yang ditinggalkan juga banyak dengan demikian persediaan dan harga bahan pangan semakin membaik namun pembagian keuntungan tersebut tidak merata. Pihak diuntungkan dengan adanya sistem tanam paksa adalah pemilik tanah tetapi yang paling beruntung adalah para pengusaha cina serta para administrator dan para pejabat pribumi yang sebagian besar tidak hanya menerima persentase namun juga memiliki tanah jabatan[3].
Keuntungan-keuntungan besar yang diperoleh yang diproleh oleh pengusaha-pengusaha pabrik eropa yang mengadakan kontrak dengan pemerintah dalam rangka sistem tanam paksa menarik menarik pihak swasta untuk mengusahakan budi daya tebu (suikerculture) sehingga pada tahun 1837 mereka menghasilkan sekitar setengah dari produksi gula pemerintah. Pada tahun 1838 pemerintah menyewakan mengizinkan pengusaha-pengusaha swasta mengadakan perjanjian dengan kepala-kepala desa sehingga penduduk desa terikat untuk mengerjakan tanah-tanah atau menyerahkan hasil-hasil tanaman[4].

C.     Pengaruh sistem tanam paksa bagi masyarakat
Pekerjaan-pekerjaan wajib yang ditetapkan pada sistem tanam paksa perupakan baban berat bagi penduduk desa. Terkadang seluruh penduduk desa dikerahkan bekerja untuk kepentingan pemerintah kolonial maupun untuk kepentingan pejabat-pejabat tertentu. hal utama yang dilakukan adalah sistem kerja wajib seperti menanam, memotong, mengangkut tebu kepabrik-pabrik gula dan bekerja dipabrik itu sendiri. Dengan adanya kerja rodi yang sangat berat dan perawata kesehatan pekerja-pekerja sangat kurang maka banyak penduduk yang meninggal baik karena penyakit, kelaparan dan sebagainya[5].
Akibat adanya sistem tanam paksa yaitu kelaparan yyang terjadi di Cerebon pada tahun 1843-1844 yang mengakibatkan penurunan jumlah penduduk dan merosotnya produksi beras dan jumlah jumlah ekspor terus menurun sedangkan impor meningkat[6]
Sistem tanam paksa merupakan suatu sistem eksploitasi yang sama seperti yang pernah diterapkan oleh VOC. Dalam sistem tanam paksa pemerintah kolonial menjalin hubungan dengan kepala desa untuk melakukan penanaman paksa terhadap penduduk sehingga memberikan pengaruh yang lebih mandalam bagi penduduk daripada zaman VOC. Sistem tanam paksa menimbulkan berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat Jawa dengan beberapa akibat yang tak diinginkan khususnya disentegrasi struktur sosial masyarakat jawa, hal tersebut disebabkan oleh semakin meresapnya ekonomi dan lalu lintas uang yang sebelumnya tidak dikenal oleh masyarakat jawa. Disisi lain, sistem tanam paksa pada umumnya tidak menguntungkan penduduk Indonesia namun sebaliknya yang sering menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan yang besar[7].

D.    Lahirnya undang-undang daerah jajahan
Kemajuan ekonomi Belanda akibat adanya tanam paksa serta kecendrungan semakin kuatnya pengaruh paham liberal yang menganut politik ekonomi yang bertentang dengan kaum konservatif nmenyebabkan masa 1850-1870 dikategorikan sebagai masa perebutan pengaruh antara dua golongan mempengaruhi politik ekonomi belanda baik di negar Belanda sendiri maupun daerah jajahan. Periode tersebut akhirnya dimenangkan oleh kaum liberal untuk daerah jajahan masa transisi atau masa permulaan keperiode liberal[8].
Dalam undang-undang 1848, dinyatakan bahwa pemerintah jajahan harus diatur berdasarkan undang-undang dan raja harus memberikan laporan tahunan terkait daerah kolonial. Undang-undang tersebut melahirkan undang-undang untuk daerah jajahan pada tahun 1854 (RR 1854) yang diberlakukan pada tahun 1856. Dalam RR 1854 terdapat beberapa perubahan yaitu: menghidupkan kembali fungsi dewan Hindia, kebebasan pers lebih luas, penghapusan perbudakan, pendidikan untuk penduduk pribumi, sewa tanah tidak ditujukan bagi pengusaha eropa dan aturan yang wajar mengenai kerja rodi dan pajak tanah. Selain itu, dalam pelaksanaan tanam paksa harus memperhatikan antara lain: tanaman produksi tidak mengganggu tanaman penduduk, pemakaian tanah dan tenaga kerja diatur secara adil dengan menghormati hak yang ada serta adat kebiasaan yang berlaku, pembayaran yang wajar dan juga ada aturan tentang penghapusan tanam paksa jika sangat menekan penduduk[9].

E.     Penentangan sistem tanam paksa
Penerapan sistem tanam paksa sangat ditentang oleh para bupati dengan mengadakan berbagai aksi. Di Tegal, Pekalongan dan Cirebon adanya aksi pencurian besar-besaran sehingga banyak penduduk yang tidak berani keluar rumah. Sifat kepemimpinan bupati sebagai otoritas tertinggi didaerahnya adalah polimorfik (bersegi banyak) sehingga penyelenggaraan sistem tanam paksa agak dipersempit yaitu secara khusus mengawasi dan menjamin produksi. Namun akhirnya kedudukan bupati berubah menjadi mandor tanaman paksa. Tekanan pada instansi terakhir ditampung oleh rakyat pedesaan yang semakin merasa dieksploitasi oleh belanda dan bupati maupun pejabat-pejabat lainnyasehingga menimbulkan kebencian penduduk dan banyaknya gerakan protes melawan belanda beserta bawahannya[10].
Beberapa tokoh belanda yang menentang ekses-ekses sistem tanam paksa dan menganjurkan pembukaan Indonesia untuk usaha swasta seperti Baron van Hoevell dan Vitalis, berkeyakinan bahwa perkembangan usaha belanda akan meningkatkan kemakmuran rakyat Indonesia. Disisi lain, oposisi di Negara Belanda terhadap sistem taman paksa mendapat angin karena adanya dua penerbitan yang secara jelas mengungkapkan penderitaan penduduk Jawa akibat penyelewenga-penyelewengan kekuasaan dibawah sistem tanam paksa. Kedua tulisan tersebut adalah max havelaar yang ditulis oleh Douwes Dekker (mantan pegawai pemerintah kolonial ) dengan nama samaran Multatuli sedangkan tulisan lainnya yaitu pamphlet dengan judul suiker contracten (kontrak- kontrak gula) yang ditulis oleh Fransen van der Putte (pemilik perkebunan besar)[11].

F.      Penghapusan sistem tanam paksa dan usaha pembaharuan
Pada tahun 1840 sistem tanam paksa telah menghadapi berbagai masalah. Tanda-tanda tentang penderitaan dikalangan penduduk Jawa dan Sunda mulai tampak khususnya didaerah-daerah penanam tebu. Hal yang paling utama dalah hasil dari perdebatan politik di Belanda yaitu dihapuskanya sistem tanam paksa sedikit demi sedikit. Ketika pemerintah kolonial menghapuskan penanaman paksa komoditi pertanian Negara diseluruh wilayahnya di Indonesia. selain itu, adanya undang-undang agraria tahun 1870 juga membuka jalan bagi peusahaan swasta[12].
Dalam hal ini, kemenangan utama bagi golongan liberal adalah undang-undang Audit tahun 1864 dan berlaku mulai tahun 1867dimana dinyatakan budget daerah jajahan harus disetujui parlemen. Dengan demikian administrasi daerah jajahan berada dibawah control parlemen. Puncak memenangan golongan liberal adalah dengan dikeluarkanya undang-undang pada tahun 1870 undang-undang agrarian dan undang-undang gula. Yang pertama mengenai penghapusan tanam paksa gula secara bertahap sehingga satu-satunya jenis tanaman yang masih dipaksakan adalah kopi yang berlansung sampai 1 januari 1917[13].
Untuk memberikan kepastian hokum dan kebebasan pada masyarakat Jawa, perlu diadakan penghapusan kefeodalan dan modernisasi kehidupan masyarakat dalam segala aspeknya. Penghapusan kefeodalan juga memerlukan campur tangan pemerintah eropa yang intensif dan memakan biaya yang besar[14].






BAB III
PENUTUP
Sistem tanam paksa merupakan suatu metode yang digunakan oleh belanda untuk menghadapi masalah perekonomiannya. Sistem tanam paksa diberlakukan sangat menguntungkan pihak Belanda namun memberikan kerugian yang besar bagi penduduk Indonesia khususnyya dipulau Jawa yang mana adanya penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh utusan Belanda di Indonesia sehingga sangat menyengsarakan rakyat Indonesia. sistem tanam paksa banyak mendapat penentangan baik bari dari pihak penduduk Indonesia maupun orang Belanda yang merasa Kasihan terhadap penderitaan rakyat Indonesia akibat sistem tanam paksa yang berakhir dengan berkembanganya faham liberalism yang berakibat pada pemnghapusan sistem tanam paksa dan menginginkan kebebasan bagi rakyat Indonesia.












DAFTAR KEPUSTAKAAN
Prajudi Atmosudirdjo. 1957. Sejarah Ekonomi Indonesia( Dari Segi Sosionlogi Sam Pai Akhir   Abad XIX). Jakarta:PT Pradnya Paramita
Zur ‘Asri.  2005. Sejarah Indonesia Zaman Pengaruh Barat (Hand Out). Jurusan Sejarah, FIS UNP, Padang
Sartono Kartodirjo. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru (1500-1900) Jilid I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum
Ricklefs, M. C. 2004. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Marwati Djoened Poesponegoro. 2008. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka









[1] Zur ‘Asri.  2005. Sejarah Indonesia zaman pengaruh barat (hand out). Jurusan sejarah, FIS UNP, padang. Hlm: 16-18
[2] Ricklefs, M. C. 2004. Sejarah Indonesia modern. Yogyakarta: gadjah mada university press. Hlm: 187-188
[3]  Ricklefs, M. C. 2004. Sejarah Indonesia modern. Yogyakarta: gadjah mada university press. Hlm: 187
[4] Prajudi atmosudirdjo. 1957. Sejarah ekonomi Indonesia( dari segi sosionlogi sam pai akhir abad XIX). Jakarta:PT pradnya paramita. Hlm: 215
[5] Marwati djoened poesponegoro. 2008. Sejarah nasional Indonesia IV. Jakarta: balai pustaka. hlm: 362-363
[6] Sartono kartodirjo. 1987. Pengantar sejarah Indonesia baru (1500-1900) jilid I. Jakarta: PT gramedia pustaka umum. Hlm: 312
[7] Marwati djoened poesponegoro. 2008. Sejarah nasional Indonesia IV. Jakarta: balai pustaka. Hlm: 370-371
[8] Zur ‘Asri.  2005. Sejarah Indonesia zaman pengaruh barat (hand out). Jurusan sejarah, FIS UNP, padang. Hlm: 47
[9] Zur ‘Asri. 2005. Sejarah Indonesia zaman pengaruh barat (hand out). Jurusan sejarah, FIS UNP, padang. Hlm: 48
[10] Sartono kartodirjo. 1987. Pengantar sejarah Indonesia baru (1500-1900) jilid I. Jakarta: PT gramedia pustaka umum. Hlm:308-309
[11] Marwati djoened poesponegoro. 2008. Sejarah nasional Indonesia IV. Jakarta: balai pustaka. Hlm367-368
[12] Ricklefs, M. C. 2004. Sejarah Indonesia modern. Yogyakarta: gadjah mada university press. Hlm: 190
[13] Zur ‘Asri. 2005. Sejarah Indonesia zaman pengaruh barat (hand out). Jurusan sejarah, FIS UNP, padang. Hlm: 49
[14] Prajudi atmosudirdjo. 1957. Sejarah ekonomi Indonesia( dari segi sosionlogi sam pai akhir abad XIX). Jakarta:PT pradnya paramita. Hlm: 225-226

Tidak ada komentar:

Posting Komentar